Salam
Tiap mahluk memiliki masalah, masalah = kuiz, masalah bukan akhir tapi awal langkah kemasalah lainnya
Kita Bercerai Saja!!!
Saat dilamar suamiku, aku merasa menjadi wanita yang paling
beruntung di muka bumi ini. Bayangkan, dari sekian juta wanita di dunia ini,
aku yang dia pilih untuk jadi isterinya. Kalau aku persempit, dari sekian
banyak wanita di negara ini, di provinsi ini, di kota ini, di rumah ibuku
yang anak perempuannya 3, aku yang paling bungsu yang dipilih untuk jadi
isterinya! Aku tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan itu.
Aku berusaha keras menjadi isteri yang baik, patuh pada suami,
menjaga kehormatanku sebagai isterinya, menjadi ibu yang baik, membesarkan
anak-anakku. Aku memanfaatkan pernikahanku sebagai ladang amalku, sebagai tiket
ke surga.
Walaupun begitu, hidup seperti halnya makanan penuh dengan bumbu. Ada bumbu yang manis,
yang pahit, yang pedas, dan lain-lain. Aku juga menghadapi yang namanya
ketidakcocokan atau selisih paham dengan suami. Baik itu tidak sepaham, kurang
sepaham, agak sepaham, hampir sepaham. Tapi aku tahu apa yang harus aku
lakukan. Aku mencoba berpikiran terbuka, mengakui kebenaran bila suamiku memang
benar dan mengakui kesalahan bila aku memang salah. Aku mencoba bertuturkata
lembut menegur kesalahan suamiku dan membantunya memperbaikinya agar ia merubah
sikapnya. It's all about compromising.
Namun apalah daya, pada akhirnya, terucap pula kata itu dari bibir
suamiku, "Kita cerai saja!" Hanya karena sebuah masalah kecil yang
tanpa sengaja menjadi besar. Saat itu seperti kudengar suara petir menggelegar
di kepala. Dan hatiku hancur berkeping-keping. Aku menjadi wanita paling pilu
sedunia.
Tak ada yang kupikirkan selain, barangkali kami memang harus
berpisah!
Kuingat kembali pertengkaran- pertengkaran kami sebelumnya. Kami
memang sudah nggak cocok! Kupikirkan kesalahan-kesalahan apa yang telah aku
lakukan namun lebih sering mengingat kesalahan-kesalahan suamiku. Aku menangis
sejadi-jadinya hingga dadaku sesak dan airmataku kering. Saat itu menjadi hari
paling menyedihkan dalam hidupku.
Tak kulihat suamiku di sampingku keesokan paginya. Entah kemana
ia. Tanpa sadar aku, layaknya aktris berakting di sinetron-sinetron, memandangi
foto-foto kami dulu dengan berlinang airmata. Ngiris hati ini. Andai saja ada
lagu "Goodbye" dari Air Supply yang mengiringiku, tentu semuanya
menjadi scene yang sempurna.
Sekilas kenangan lama bermunculan di benakku. Aku teringat pertama
kali aku bertemu suamiku, teringat apa yang aku rasakan saat ia melamarku. Aku
tersenyum kecil hingga akhirnya tertawa saat mengingat malam pertamaku. Ha ha
ha.
Anak-anakku datang saat melihat ibu mereka ini tertawa, memelukku
tanpa tahu apa yang sedang terjadi. Mereka masih kecil-kecil. Kupandangi mereka
satu per satu. Mereka mirip ayahnya. Aku jadi teringat saat pertama kali
kukatakan padanya bahwa ia akan menjadi ayah. Hhmmm....
Kulalui hari-hari penuh kekhawatiran bersamanya, menunggu
kelahiran buah cinta kami. Dengan penuh kasih sayang. Suamiku memegang
tanganku, mencoba menenangkanku saat anakku baru lahir, walaupun kutahu ia
hampir saja pingsan. Keningku diciumnya saat semuanya berakhir walaupun wajahku
penuh keringat. Saat kubuka mataku, di sampingku ia duduk menggendong bayi
mungil itu. Bersamanya, kurasa, telah kubeli tiket ke surga...
"Mi, Abi mana?" suara anakku mengejutkanku. Tak sanggup
kumenjawabnya. Hampir saja aku menangis lagi.
Tiba-tiba kulihat sesosok bayangan dari balik dinding. Suamiku
datang. Rupanya tadi malam ia tidur di masjid. Ia melihatku bersama
anak-anakku. Mereka berhamburan menyambut ayahnya, memeluk lututnya karena
mereka belum cukup tinggi menggapai bahu ayahnya itu. Ia membawakan makanan untuk
mereka.
Saat anak-anak sibuk dengan makanan itu, ia menghampiriku. Aku
mencoba untuk biasa dan kuajak ia melihat foto-foto lama kami. Bernostalgia.
Aku tertawa bersamanya. Mengingat yang telah lewat. Sesekali ia memandangku
lembut. Aku tahu ia sedang berfikir. Namun aku khawatir ia sedang meyakinkan
hatinya untuk benar-benar menceraikan aku dan mengatur kata-kata agar aku dapat
menerima keputusannya.
Saat ia diam dan memandangku dalam-dalam, kukatakan padanya bahwa
aku merindukannya sejak tadi malam. Ia tersenyum dan mengatakan bahwa ia pun
merasakan hal yang sama.
Hatiku lega. Kututup album foto itu dan kukatakan padanya bahwa
selain dari semua kekuranganku tentu ada kelebihanku, selain dari semua yang
tidak disukainya tentu ada yang disukainya, selain dari semua ketidakcocokan
kami tentu ada bagian yang cocok. "Bila tidak, apa alasan Abang mau
menikahi Adik dulu? Dan, bagaimana mungkin kita bisa bertahan selama ini?"
Ia mencium keningku. Kurasakan air mata
mengalir hangat di pipiku. Tapi bukan air mataku...
"Allah memang hanya menciptakan Adik buat Abang... Maafkan
Abang ya?"
Kuusap air mata dari pipinya dan ia
membaringkan kepalanya di pangkuanku. ""Maafkan Adik juga ya,
Bang..."
Entah apa yang membuatnya berubah pikiran. Aku tak ingin
menanyakannya. Hanya dengan berada di sisiku pagi itu, aku rasa aku tahu
jawabannya. (Sumber: SM-CN)
Pernikahan itu bisa berumur panjang bila ada usaha untuk
memanjangkannya dan bisa berumur pendek bila tidak ada yang mau berpikir
panjang.
(www.andi-arham.blogspot.com )
Tidak ada komentar:
Posting Komentar